Saya belajar jurnalistik akhir tahun 2018 atau awal 2019. Saya kurang ingat pastinya.
Motivasi awal saya belajar jurnalistik sebenarnya hanya ingin mencari pengakuan, masa iya anak komunikasi penyiaran tidak bisa nulis berita, begitu yang ada di benak waktu itu. Dan alhamdulillah, mampu menulis berita.
3 bulan kurang lebih lamanya saya jadi citizen di salah satu media online terbesar di Makassar bahkan Indonesia. Setiap hari menulis berita. Dan sempat mendapatkan penghargaan. Penghargaannya bukan apa-apa. Yang penting prestasinya.
Setelah itu, ditawari jadi reporter oleh salah seorang teman. Singkatnya, saya terima dan diberi tanda pengenal. Walaupun hanya aktif beberapa bulan.
Kemudian, karena tugas akhir kampus jadi sempat off. Dan barulah beberapa bulan belakang ditawari oleh teman berbeda mengelolah medianya sebagai redaktur. Walaupun medianya kecil yang penting jabatannya keren, iyakan?
Perjalanan saya belajar jurnalistik praktis baru sekitar 3-4 tahunan. Masih belum matang lah untuk orang yang tidak begitu serius. Terus, apa yang saya mau katakan.
Dalam jurnalistik itu kita belajar ketepatan kata, keteraturan kalimat dan keutuhan narasi. Itu yang saya pelajari di jurnalistik.
Walaupun sampai saat ini saya masih perlu belajar banyak, tapi saya mulai memahami bahwa kata itu senjata. Kata itu berbahaya. Kata itu mematikan.
Tidak heran jika HOS Tjokroaminoto berkata, menulislah seperti wartawan dan bicaralah seperti orator.
Sayyid Qutb juga bilang begitu, peluru hanya mampu menembus satu kepala tapi tulisan menembus jutaan kepala. []
Keren tulisannya kak, benar2 na kasih motivasi untuk semangat belajarđź–’
BalasHapus