Obat atas "penyakit kebingungan" tidak lain adalah ilmu. Ilmu itu memberikan arah dan kejelasan tujuan sehingga yang kita sebut "penyakit kebingungan" itu terobati dengan sendirinya setelah ilmu dimiliki.
Dalam literatur klasik Islam, dunia ini salah satunya digambarkan sebagai tempat persinggahan. Tempat kita mencari dan mengumpulkan bekal sebanyak dan sebaik mungkin. Manusia yang tidak paham tujuan dan arah hidupnya dapat dipastikan kebingungan menjalani hidup karena untuk memilih pekerjaan apa yang seharusnya dilakukan pun mereka tidak tahu.
Berbeda dengan manusia yang punya tujuan dan arah hidup, mereka dapat menentukan dengan mudah skala prioritas berdasarkan kebutuhannya. Karena satu hal, mereka punya ilmu. Mereka tahu arah yang hendak ia ditempuh.
Organisasi (KAMMI) sebagai kendaraan beramal shalih dunia akhirat juga demikian. Kader yang memahami tujuan dan arah perjuangan organisasinya sangat berbeda dengan kader yang tidak memahaminya.
Kader yang memahami organisasinya akan sangat mudah mengambil inisiatif untuk bergerak hatta tidak digerakkan sekali pun; Akan mudah mengambil sikap yang baik di tengah dinamika organisasi yang sedang berjalan. Karena apa? Karena mereka tahu tujuan. Mereka paham arah organisasinya.
Sedangkan kader yang tidak memahami organisasinya hanya bisa duduk, diam, menunggu bahkan mungkin bisa jadi turun dari gerbong karena bosan menunggu kejelasan.
Padahal bisa jadi bukan arahan yang mereka butuhkan tapi kecakapannya melihat jadwal tiket yang berada di tangannya. Jam berapa berangkatnya. Di stasiun mana akan berhenti. Berapa lama. Di daerah mana saja mereka harusnya menikmati alam pemandangan. Di kondisi seperti apa saja seharusnya mereka beristirahat menyiapkan tenaga dst. Ilustrasi ini semua yang kita sebut filosofi gerakan KAMMI. Ini yang banyak tidak dipahami dengan baik oleh kader.
Sayangnya, porsi pemahaman tentang filosofi gerakan ini belum banyak diberikan di jenjang AB1, sebagaimana saya sampaikan di tulisan pertama. Di jenjang selanjutnyalah yaitu AB2 porsi ini baru diberikan secara utuh. Ini juga yang menjadi alasan kenapa calon pengurus inti Komisariat, Kamda dst minimal (harus) berstatus AB2.
Kenapa seperti itu? Karena kita memandang bahwa jenjang AB1 itu cukup "menyempurnakan jati dirinya" sedang AB2 itu yang kita asumsikan harusnya selesai dengan jati dirinya dapat naik kelas menjadi penggerak. Termasuk pemikir. Bahkan dalam pedoman pengaderan disebut "guru untuk gerakan".
Sampai di sini semoga antum/na yang masih ragu dengan KAMMI bisa segera terobati dengan ikut DM2. KAMMI menanti antum/na segera naik kelas dan menjadi pemikir-pemikir dan penggerak-penggerak baru untuk kemajuan Indonesia!
Komentar
Posting Komentar